Materi Pecinta Alam - Apabila sejenak kita merunut dari belakang, sebetulnya sejarah manusia
tidak jauh-jauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia
berburu dan mengumpulkan makanan, alam adalah "rumah" mereka. Gunung
adalah sandaran kepala, padang rumput adalah tempat mereka membaringkan
tubuh, dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi. Namun sejak manusia
menemukan kebudayaan, yang katanya lebih "bermartabat", alam seakan
menjadi barang aneh. Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya
bersembunyi. Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan
tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat
kepalanya. Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya
sendiri-sendiri.
Ketika keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah saatnya Sejarah Pecinta Alam dimulai :
Pada tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de
Ville mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors
Massif. Saat itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung
pertama. Namun beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun
tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois,
sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki
gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah dicatat dalam
sejarah.
Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan
Carstensz menemukan "Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat
tertutup salju" di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk
salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak
Cartensz. Pada tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai
manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun
1852 Puncak Everest setinggi 8840 meter ditemukan. Orang Nepal
menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet. Puncak
Everest berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir
Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang
tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke
atap-atap dunia pun semakin ramai.
Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu
"Perkumpulan Pentjinta Alam"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. PPA
merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran
positif serta suci, terlepas dari 'sifat maniak'yang semata-mata
melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah memperluas
serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan
anggotanya dan masyarakat umumnya. Sayang perkumpulan ini tak berumur
panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana
yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun
1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di
tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam
maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka,
tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk
mengabdi kepada negeri ini?.
"Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu
kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK
028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat
Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8
Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah
mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti
yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta
alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19
Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan
Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan
mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah
melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya
yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung
FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu Herman
O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa
FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu
IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam.
Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu
Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat
terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA
menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis.
Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan
dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti dewi
pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi
dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan
oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan.
Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis selain
dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para
mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat
berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap
dalam hubungannya antar organisasi.
Dalam tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa :
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme
di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam,
tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa
yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui
slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan
mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah
seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik” Para mahasiswa itu,
diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, membuang energi
mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung.
Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan
para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan
dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun
merambah tak hanya kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di
Indonesia memiliki mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas
hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah
ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampung-kampung.
Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah
merasa sebagai pecinta alam.
Dan organisasi pencinta alam pun merambah MAHESA sejak awal berdirinya.
Dimulai dari puncak Gunung Bawakaraeng (2.830 Mdpl) pada tanggal 20 Mei
2007(Disepakati sebagai hari jadi MAHESA), oleh 9 orang pendiri
Mahasiswa Ekonomi Program Reguler Sore UNHAS (Bintang Hidayat, Hastomo,
Fajrul Iman Ibrahim, Apriansyah, Ahmad Nasarudin, Asriadi, Muh.Hisyam,
Suhardiman Sultan, dan Armawan Abdullah) yang disetujui oleh M.Arfan
yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua BEM Fakultas Ekonomi Reguler
Sore UNHAS(yang di kemudian hari karena bersimpatik ikut bergabung
dengan MAHESA dalam Angkatan I), kemudian disusul dengan deklarasi yang
diadakan di Puncak Gunung Bulusaraung (1.200 mdpl) pada tanggal 09
September 2007. Dalam perjalanan kali ini ikut serta Arnan Maulana,
Seorang Simpatisan (yang kemudian ditetapkan sebagai Simpatisan
Pendiri). Pada periode pertama Bintang Hidayat ditetapkan sebagai ketua
umum MAHESA.
MAPALA, Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi
Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA?
Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang
mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan
uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai
kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan
kegiatan di alam.
Dalam sebuah diskusi (mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret
1992) kegiatan Mapala dapat dikategorikan sebagai olahraga yang masuk ke
dalam kaliber sport beresiko tinggi. Kegiatannya meliputi mendatangi
puncak gunung tinggi, turun ke lubang gua di dalam bumi, hanyut
berperahu di kederasan jeram sungai deras, keluar masuk daerah pedalaman
yang paling dalam dan lainnya. umumnya kegiatan Mapala berkisar di alam
terbuka dan menyangkut lingkungan hidup. Jenis aktifitas meliputi
pendakian gunung (mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran
gua (caving), pengarungan arus liar(rafting), penghijauan dan lain
sebagainya.
Tak ayal lagi bahwa kegiatan ini beresiko tinggi dan setiap anggotanya
harus memahami konsekuensi resiko yang dihadapi dengan bergabung dengan
organisasi ini. Resiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan
bahkan kematian. Untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi resiko yang
tinggi ini, dibutuhkan kesiapan mental, fisik dan skill yang memadai.
Berbagai macam latihan dan pengalaman terjun langsung ke alam dapat
meminimalisir resiko yang akan dihadapi. Tapi, diluar semua itu masih
ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang.
MAPALA, Pencinta alam atau Petualang ?
Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu
kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau
dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan
nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya.
Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam),
sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang
sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian,
secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan
tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan
keduanya sama, alam. Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup
“istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta
alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu,
petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas
Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan
sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai
medianya.
Kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin
parah dimanakah pencinta alam? begitupun dengan para petualang yang
menggunakan alam sebagai medianya.
Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya tindakan
yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan
terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di
kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun
bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum
mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya.
Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai
petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi
spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang
tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan, dengan
demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya”
yang menggunakan alam sebagai alat.
MAHESA, Environmental+Intelektualis+Adventurer
Akhir-akhir ini di mana degradasi lingkungan dirasa semakin parah, maka
peran pencinta alam sangat penting untuk membantu melestarikan
lingkungan. Untuk melengkapi perannya sebagai duta lingkungan hidup,
MAHESA sebagai organisasi pencinta alam yang Notabene anggotanya adalah
seorang Mahasiswa, dituntut pula untuk mengupgrade ilmu dan pengetahuan
dan minat serta niat yang tulus untuk selalu belajar, menambah
pengetahuannya bukan hanya hal-hal yang menyangkut tentang outdoor skill
tetapi juga harus ber-etika dan ber-intelektual. Karena seorang anggota
MAHESA notabene juga adalah seorang Mahasiswa(yang berintelek), seorang
anggota MAHESA dituntut bukan hanya menguasai skill tentang outdoor
activities, tetapi juga haruslah sebagai mahasiswa yang rasionalis,
analitik, kritis, universal, dan sistematis. MAHESA sadar dibutuhkan
sisi Intelektual untuk menjembatani dan melengkapi sisi environmental
dengan sisi adventurer. MAHESA sebagai organisasi intelektual dengan
gerakan enviromentalisme bermental adventure yang berjuang keras dalam
menjaga keseimbangan alam ini sebagai satu gerakan untuk masa depan akan
lebih berarti tindakannya dengan komitment dan loyalitas yang tinggi
dari anggotanya. Sebuah harapan untuk mengembalikan keseimbangan alam
ini, perbedaan pola fikir dan arah gerak environment dengan adventurer
dijembatani oleh sisi intelektualis para anggotanya yang merupakan
spesialisasi dan menjadi ciri dari MAHESA yang memahami pentingnya
menjaga, memelihara, melindung serta melestarikan alam Tanah Air
tercinta ini dan melakukannya secara aman dan tertib.. bukanlah suatu
kemustahilan ketiga sisi tersebut bersatu untuk masa depan lingkungan
hidup Indonesia sehingga terciptanya lingkungan hidup yang seimbang,
stabil dan bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan masa depan.
Home » Materi Pecinta Alam » SEJARAH PENCINTA ALAM DAN PERKEMBANGANNYA
SEJARAH PENCINTA ALAM DAN PERKEMBANGANNYA
Diposting oleh Pecinta Alam on Kamis, 21 September 2017
Label:
Materi Pecinta Alam
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar